Jumat, 20 Agustus 2010

Bank Syariah : Hakikat dan Urgensinya

PENDAHULUAN
Sisi ekonomi adalah sisi yang tidak terpisahkan dari dimensi kehidupan umat manusia. Sistem yang berkembang di dunia adalah sistem kapitalisme dan sosialisme yang tampaknya untuk pemerataaan dapat diterima oleh dunia Islam, karena pada lahirnya tidak berbenturan dengan agama. Tetapi pada kenyataanya kedua sistem di atas tadi mengacu pada sekularisme murni. Sementara keinginan Islam, disamping mencapai tujuan-tujuan material harus juga dipertimbangkan faktor nilai, karakter luhur manusia, keutuhan social dan pembalasan Allah di akhirat nanti. Singkatnya kegiatan-kegiatan ekonomi tidak saja semata-mata untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan material, tapi terlebih-lebih kegiatan tersebut haruslah bernilai ibadah di mata Allah SWT.
Salah satu fenomena ekonomi yang terlihat mendesak untuk ditanggulangi adalah interaksi umat Islam dengan bank. Bank-bank konvensional yang ada sekarang ini menawarkan sistem bunga, yang dalam Islam identik dengan riba. Islam melarang adanya riba, dan setiap pelanggaran atas ketentuan ini merupakan perbuatan dosa kepada Allah. Oleh karena itu diperlukan lembaga-lembaga perbankan yang Islami yang bebas dari praktek-praktek riba, sehingga umat Islam dapat menyalurkan investasi sesuai syari’at Allah.
GERAK MAJU BANK ISLAM DITENGAH-TENGAH BANK KONVENSIONAL
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa diikuti dengan distribusi yang merata, akan menyebabkan ketimpangan social. Di satu pihak terdapat segelintir orang menikmati sebagian besar kekayaan, sementara disisi lain berhimpun mayoritas masyarakat yang sekedar memperebutkan sepiring kecil rezeki. Akibatnya terjadilah keadaan dimana sejumlah kecil orang makin bertambah kaya karena menguasai barang dan modal, sedangkan disaat yang sama banyak masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Hal ini semakin diperburuk lagi dengan adanya penindasan dan pemerasan oleh yang kuat terhadap yang lemah, atau oleh si kaya terhadap si miskin. Keadaan yang seperti ini tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan sengaja diciptakan, sehingga menutup peluang golongan dhu’afa untuk memperbaiki kondisi social ekonominya. Sekeras apapun ia bekerja atau sepintar apapun kemampuan yang dimilikinya, ia tetap menjadi pelengkap penderita bagi golongan atas.
Sebaliknya, pemerataan tanpa pertumbuhan juga tidaklah tepat, karena akan menghambat dinamika ekonomi dan menyebabkan pembagian kemiskinan. Semakin besar faktor pembaginya ( sementara jumlah yang dibagi tetap), akan memperbesar pembagian kemiskinan. Pendapatan seorang pegawai mungkin cukup untuk menghidupi suatu keluarga kecil. Namun bila pendapatan tersebut digunakan untuk menghidupi keluarga yang besar, tentu saja tidak mencukupi.
Untuk menciptakan keselarasan antara pertumbuhan dan pemerataan itu, diperlukan lembaga yang mengendalikan dan mengatur dinamika ekonomi dalam hal ini perputaran uang dan barang. Fungsi itu sekarang dikenal dengan nama bank. Bank dalam bentuk dasarnya sesungguhnya banyak membawa manfaat, karena disitu bertemu para pemilik, pengguna, dan pengelola modal. Dari sana terjadi proses perputaran uang dan kekayaan dari kelompok berpunya kepada mereka yang memerlukan. Dan fungsi bank yang seperti ini sejalan dengan apa yang dikehendaki Allah dalam QS. 59 ; 7 :
“…supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantaramu saja.”
Dari sudut ini, bank memiliki fungsi menebarkan keadilan dan pemerataan. Selain itu, bank juga berperan memperlancar laju perekonomian. Berbagai transaksi baik berskala lokal maupun internasional-membutuhkan jasa perbankan. Transfer dana, rekening giro, penerbitan L/C , deposito box, tukar menukar valuta asing dan berbagai jenis pelayanan jasa lainnya hanya ada di bank. Disamping itu bank adalah tempat yang aman untuk menitipkan dana.
Namun fakta dalam kenyataanya kini, yanga pongah berkibar adalah bank-bank yang sedang menganut sistem ribawi. Sistem ini sejak semula diciptakan sebagai alat untuk melakukan penindasan kepada kaum tidak berpunya dan melestarikan jurang pemisah antara pemilik modal dengan pembutuh modal.
Diberlakukannya sistem ribawi atas seluruh transaksi yang dilakukan oleh dunia perbankan, membuat seluruh peran positifnya bergeser dan berbalik menghancurkan sendi-sendi kehidupan umat. Bank sekarang justru berperan sebagai lembaga penindasan yang lemah dan penopang yang kuat. Disisi lain kita melihat dari mana uang datang dan kepada siapa dana itu disalurkan. Bukan rahasia lagi , bank hanya menyalurkan kredit kepada golongan tertentu yang mampu menyerahkan agunan. Sementara kaum lemah amat sulit memperoleh kredit, bahkan nyaris mustahil. Selain tidak memiliki agunan, juga skala bisnis yang kecil membuat bank tidak tertarik untuk membantu. Dengan kata lain bank menganggap orang kecil tidak bankable. Namun celakanya dana yang disedot para konglomerat untuk mempertajam cengkraman gurita bisnisnya ( pinjaman dari bank), tidak sedikit yang datang dari kaum lemah. Dengan berbagai iming-iming dan hadiah, mereka ini (kaum lemah) dirayu agar menyimpan uangnya di bank. Secara makro, jeratan bank ribawi juga menimpa banyak dunia ketiga. Yahudi, melalui sistem ribanya, membelit negara-negara dunia ketiga dengan utang yang tak kepalang jumlahnya. Sampai tahun 1989 saja, diperkirakan utang negara-negara Dunia (termasuk didalamnya negara-negara Islam) mencapai 1,4 trilyun dollar Amerika. Maka masuk diakal jika perekonomian dikawasan ini (dunia ketiga) menjadi morat-marit, bak lingkaran setan.
Oleh karena itu harus ada alternatif lain yang mampu membuat bank menjalankan peranannya bagi kesejahteraan umat. Dan alternatif tersebut tak lain dan tak bukan adalah Islam.
Sistem ekonomi Islam penuh dengan pranata dan perangkat yang dilandasi oleh keadilan. Itulah sebabnya Allah mengharamkan riba dalam surat Al-baqorah ; 257. Dalam transaksi ribawi yang ada hanyalah resiko satu pihak. Hanya pihak peminjam yang menanggung resiko, sementara pemilik modal selalu mendapat keuntungan. Ini adalah suatu kezaliman total yang nyata. Hal seperti ini tentulah tidak akan ditemui pada lembaga keuangan non bunga atau dengan kata lain bank Islam. Istilah bank Islam sebenarnya baru berkembang di masa-masa sekarang ini. Sedangkan pada khazanah fiqh dan praktek ekonomi di masa rosul dan khilafah islamiyah, istilah bank Islam lebih dikenal dengan nama baitul maal atau baitul tawil.
Isu tentang bank Islam yang sejak lama (baik secara terbuka atau samar-samar sering digunakan) nampak makin menemukan momentumnya. Di Indonesia, sebelum berdirinya bank Muamalat, isu tersebut ramai dibicarakan berbagai kalangan, baik dalam skala besar maupun kecil. Dan isu tersebutpun berubah menjadi kenyataan seiring dengan berdirinya bank Muamalat di Indonesia. Berdirinya bank Muamalat ini telah lama dinatikan dan diharapkan oleh masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini. Kekecewaan masyarakat, khususnya dari golongan menengah kebawah, kepada bank-bank konvensional yang kian merajalela dengan sistem ribawinya, ditambah lagi dengan adanya resesi dunia, membuat masyarakat mencari alternatif lain yang lebih manusiawi dan adil. Apalagi bank-bank Islam di mancanegara berhasil membuktikan dirinya sebagai lembaga keuangan yang sukses dari segi komersial dan moral. Secara komersial, bank-bank Islam tersebut menghasilkan keuntungan berlimpah. Disisi lain ia tetap mampu memerankan dirinya lembaga keuangan dan ekonomi yang adil dan manusiawi yang mencakup segala kalangan masyarakat. Berbeda dengan bank-bank konvensional yang pada hakekatnya tak lebih dari perpanjangan tangan kaum elite ekonomi dan konglomerat.
Dalam Islam, masalah ekonomi bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Seluruhnya terkait dengan esensi ajaran Islam, yaitu Laa Illaha Illallah. Artinya prinsip dasar ekonomi islam memandang harta milik Allah SWT. Manusia hanyalah penerima amanah, yang harus dipertanggungjawabkan di hari akhir kelak. Karena itu , seluruh aturan ekonomi Islam , termasuk bank Islam, selalu berorientasi kepada bagaimana keridhoan Allah dapat kita peroleh . Hakekat sistem Islam yang lain adalah keintegralannya. Ekonomi , Politik , Sosial, Budaya dan bagian kehidupan yang lain, menyatu dalam satu sistem. Artinya penegakan sistem Islam selalu mensyaratkan adanya keseluruhan dalam pelaksanaanya. Jika tidak, maka bisa jadi malah akan menimbulkan masalah baru yang tidak jarang jauh lebih kompleks dari sebelumnya. Bank Islam contohnya . Rahmat dan manfaat bank Islam hanya akan terlihat jika elemen-elemen sistem yang lain juga turut ditegakkan. Tanpa itu , boleh jadi kehadiran bank Islam hanya akan menghasilkan kaum muslimin yang makmur yang kaya secara material namun rapuh secara akhlak dan ibadah. Bank Islam hanya akan maju dan berkembang jika orang-orang yang terlibat didalamnya, baik pemilik modal , peminjam, dan pengelola, memiliki komitmen yang utuh kepada Islam. Karena dalam banyak hal , Bank Islam lebih menekankan aspek kesediaan menolong tanpa pamrih, selain mengharap balasan dari Allah SWT.
Kadang banyak orang terjebak kedalam pengertian bahwa bank Islam sama dengan bank tanpa bunga (zero interest = bunga nol). Padahal bank Islam sangat jauh dari itu. Bank Islam memiliki cirri karakter sendiri yang berbeda dengan bank-bank konvensional. Esensi bank Islam tidak hanya dilihat dari ketiadaan sistem riba dalam seluruh transaksinya, tetapi didalamnya terdapat sistem yang membawa manusia mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Ada beberapa karakter dan cirri utama bank Islam, diantaranya :
1. Berdimensi keadilan dan pemerataan melalui sistem bagi hasil
Dengan sistem bagi hasil, pihak pemberi modal dan peminjam menanggung bersama resiko laba ataupun rugi. Hal ini membuat kekayaan tidak hanya beredar pada satu golongan. Terjadi proses penyebaran modal yang juga berarti penyebaran kesempatan berusaha. Dan ini pada akhirnya membuat pemerataan dapat terlaksana. Berbeda dengan bank konvensional, yang ada hanyalah penumpukan modal pada pemilik modal. Akan selalu tercipta jurang antara si kaya dan si miskin.
2. Jaminan
Bank Islam menjadikan proyek yang sedang dikerjakan sebagai jaminan, sementara bank konvensional (dengan bunga) menjadikan kekayaan si peminjam sebagai jaminannya. Sehingga hanya orang-orang kaya dan mampu sajalah yang dapat mminjam pada bank, sementara si fakir dan lemah tidak dapat meminjam. Para konglomerat selalu ditawari kredit , sementara pengusaha lemah tidak pernah mendapat bagian.
3. Menciptakan rasa kebersamaan
Bank Islam menciptakan suasana kebersamaan antara pemilik modal dengan peminjam. Keduanya berusaha untuk menghadapi resiko secara adil. Dan rasa kebersamaan ini mampu membuat seorang peminjam merasa tenang sehingga dapat mengerjakan proyeknya dengan baik.
4. Bersifat Mandiri
Bank Islam bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh gejolak moneter, baik dalam negeri maupun internasional, karena kegiatan operasi bank ini tidak menggunakan perangkat bunga. Karena itu bank sistem ini tidak berdampak inflasi, mendorong investasi, mendorong pembukaan lapangan kerja baru dan pemerataan pendapatan.
5. Persaingan Sehat
Persaingan diantara Bank Islam tidak saling mematikan tetapi saling menghidupi. Bentuk persaingan antara Bank Islam adalah berlomba-lomba untuk lebih tinggi dari yang lain dalam mamberikan porsi bagi hasil kepada nasabah. Sehingga mereka yang mampu membina peminjam dengan baik akan berhasi. Dan kesempatan ini terbuka untuk semua Bank Islam. Berbeda dengan bank-bank konvensional, Persaingan antara bank-bank mereka saling mematikan. Bank-bank besar dengan mudah memberikan bunga besar kepada nasabahnya. Sementara yang kecil hanya melihat dengan kesedihan. Dan kesemuanya dipertegas dengan komitmen Bank Islam untuk mengangkat kaum dhu’afa. Karena itu , ujung tombak bank Islam adalah bank perkreditan rakyat (BPR).
Sebagai sebuah lembaga bisnis, bank Islam, seperti bank-bank lainnya harus memiliki daya tarik ekonomi. Namun pertimbangan ekonomi bukan merupakan pertimbangan dasar, ada hal lain yang lebih penting, yaitu moral. Karena itu produk-produk yang diberikan Bank Islam tidak pernah lepas dari aturan syariah. Selalu ada pertimbangan yang bersifat ukhrawi, yaitu pertimbangan halal dan haram.


*M. Rosadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar