Sabtu, 14 Agustus 2010

BERANTAS KEMISKINAN

Abstrak:

Di antara keunggulan sistem ekonomi Islam yang berdasar pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah adalah tidak begitu terpengaruh ketika terjadi kegoncangan ekonomi global dengan ditandai dengan collaps-nya bank-bank konvensional. Pada sisi lain bank-bank syari’ah (Islam) masih tetap bertahan hingga saat ini. Islam dalam bingkai ajaran hubungan antar manusia dengan manusia (mu’amalah ma’a al-nas) memberi konsep keadilan dan kebersamaan atau keseimbangan (equality) terutama dalam masalah ekonomi. Islam sangat melarang penumpukan kekayaan atau harta pada suatu kelompok tertentu, sebaliknya Islam menganjurkan untuk mendistribusikan kekayaan atau harta tersebut secara merata dan bijaksana. Ketika Islam menjadi penguasa dalam menentukan kebijakan atas rakyat, maka Islam haru s bisa memenuhi standar pokok hidup rakyat yaitu sandang, pangan, papan dan pendidikan. Di sini kemudian perlunya ditata dan diatur zakat, infaq, hibah, shadaqah dan lain sebagainya oleh negara guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.


Pendahuluan

Suatu tantangan bagi perekonomian bangsa Indonesia, yakni bagaimana membangun kembali stabilitas ekonomi yang pernah ambruk akibat krisis. Dari krisis itu mengakibatkan pendapatan para pedagang menurun drastis. Para karyawan dan buruh banyak yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat dari para pengusaha pemilik modal tidak dapat bertahan.

Dari fenomena di atas mengakibatkan meningkatnya pengangguran, kemiskinan semakin meningkat, tingkat kejahatanpun merajalela di berbagai wilayah. Hal ini akan menjadi beban social cost yang tidak sedikit bagi pemerintah.

Keberanjakan dari beban social cost ini, maka perlu dibuat kebijakan strategi dan program yang realistis untuk menanggulangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan. Jika strategi dan program direalisasikan, maka akan terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.

Menurut hasil Sensus Penduduk 1980 menunjukkan sekitar 80 persen angkatan kerja Indonesia berada di daerah pedesaan.[1] Jumlah ini memberikan informasi bahwa penanganan masalah ketenagakerjaan harus mendapatkan prioritas, karena lapangan pekerjaan yang dapat menampung pekerja masih bertumpu pada sektor pertanian, sedangkan lahan yang dapat diolah untuk pertanian semakin terbatas.



Pembahasan

A. Kepemilikan Dalam Islam

Seiring dengan perkembangan industrialisasi yang mulai merambah ke pedesaan yang juga diiringi dengan pembangunan perumahan bagi karyawan, maka kepemilikan lahan pertanian mulai termarginal. Hal ini membuat pemilik lahan (petani kaya) yang selama ini dapat melindungi buruh tani (penggarap) dengan cara memberikan pekerjaan mulai bersikap komersial, yakni mereka berusaha memperoleh keuntungan maksimal dengan cara mengurangi biaya panen atau biaya lainnya. Disamping itu pelaksanaan program pemerintah daerah dalam upaya memajukan daerah pedesaan dengan menggalakkan penggunaan teknologi baru. Dengan demikian kedudukan teknologi akan menggeser pranata sosial tradisional yang selama ini menjadi tonggak kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan.

Perlakuan dari pemilik tanah terhadap kaum buruh (petani penggarap) sangat bertentangan dengan konsep Islam dalam pemilikan tanah. Pada dasarnya segala sesuatu yang dimiliki oleh pribadi adalah bukan merupakan kepemilikan mutlak, tetapi milik Allah secara utuh, dan Allah hanya memberi tugas kepada manusia hanya untuk memelihara, memanfaatkan atau menggunakan, melestarikan segala sesuatu yang dimiliki dengan penuh amanah. Seperti yang dilansir oleh Munawar Iqbal dalam bukunya Distributive justice and need fulfilment in an Islamic Economy The Islamic Concept of Ownership bahwa konsep kepemilikan menurut Islam adalah semua sumber daya alam pemilik mutlak hanyalah Allah semata, sementara manusia hanya diberikan untuk mengelolanya dan bertanggung jawab kepada-Nya[2]. Zubair Hasan menerangkan tentang kepemilikan menurut konsep Islam adalah bagian dari amanah (trusteeship) yang diberikan oleh Allah. Dalam ekonomi Islam kepemilikan yang sebenarnya adalah Allah. Dia hanya memberikan kepada manusia sebatas pengelolaan yang dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan.[3]

Namun kenyataannya banyak manusia yang lupa dan terlena atas kepemilikan itu, sehingga timbul rasa keserakahan, kearogansian, dan kesombongan, sehingga mereka tidak peduli terhadap orang yang tidak mempunyai lahan pertanian.

Dari pengertian kepemilikan di atas, maka kepemilikan tanah pertanian yang sebenarnya adalah Allah, sedangkan manusia hanyalah sebatas pengelola pertanian. Jika hal ini disadari oleh masyarakat pertanian, maka tidak akan terjadi pemerasan terhadap buruh tani (petani penggarap). Bahkan melalui kebersamaan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam untuk menciptakan kemakmurkan masyarakat.

Islam mengajarkan pemeluknya tentang kepemilikan tanah. Sistem kepemilikan dalam Islam ada dua aspek yaitu aspek vertikal yang diturunkan oleh Allah (God is the real owner of all property) Pencipta dan Pemilik sejati dari semua kekayaan, dan yang kedua adalah aspek horisontal, bukan kepemilikan pribadi atau umum (this system is neither a private nor a publik property).[4] Contoh tipe kepemilikan dari tanah pertanian.

1. Private Property Rights (hak milik tanah pribadi).

a. Priority of use ownership (prioritas terhadap penggunaan kepemilikan), seperti pengembang dapat memanfaatkan tanah yang tak terpakai.

b. Private ownership (kepemilikan pribadi), seperti tanah dan wilayah yang penduduknya memeluk agama Islam yang hidup bergabung dalam kedamaian.

2. Publik Property Right (hak milik umum).

a. State (public treasure) ownership (milik negara), seperti tanah yang dibuang sesudah dimanfaatkan penggunaannya dan bukan hak milik.

b. Nationalized ownership (milik warga negara) yaitu kepemilikan generasi sekarang dan mendatang dari ummat Islam, seperti tanah yang dikelola bersama.

c. Communal ownership (tanah milik bersama) yaitu kepunyaan semua orang yang mempunyai hak dalam penggunaannya.[5]

Beranjak dari pendapat yang dikemukaan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tanah bumi, air dan apa yang ada dimuka bumi ini adalah milik Allah semata (real owner of all property), juga hal ini senada denga firman-Nya:

وَللِّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ ....... فَإِنَّ لِلّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَانَ اللهُ غَنِيًّا حَمِيدًا. . النساء : 131

Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, .......sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. An Nisâ : 131



ولِلّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللهِ وَكِيلا. النساء : 132

Artinya : Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara. An Nisâ : 132



Manusia diciptakan oleh Allah yang sekaligus diberikan kewenangan (khalifah) oleh-Nya (al-Baqarah:30) untuk mengelola bumi dalam kapasitas memenuhi kebutuhan. Hal ini dilansir oleh Mohammad Nejatullah Siddiqi dalam tulisannya The Guarantee of a Minimum Level of Living an Islamic State, Man is the vicegerent of God on earth which means he has specific functions to perform. This presumes that survival as well as efficiency have to be ensured.[6] Manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang mempunyai fungsi untuk berusaha dan mengelola dengan seefisien mungkin. Pandangan Nejatullah ini didasari oleh hadis Nabi : "The world is green and sweet and Allah would put it under your charge and see how you behave"[7] sesungguhnya dunia itu hijau dan manis dan sesungguhnya Allah telah menjadikan kalian khalifah di muka bumi untuk menyaksikan bagaimana kalian berkarya. Di sini manusia diciptakan oleh Allah yang sekaligus diberikan sumber penghidupan di muka bumi, sebagaimana dalam al-Qur'an:

وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ.

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.( al-A'raf : 10)

Dalam ayat lain juga dikatakan bahwa

وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ. الحجر: 20

Artinya: Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya. Al Hijr : 20

Dari uraian di atas masyarakat pertanian dalam bercocok tanam hanyalah sebatas menjalankan amanah yang dititipkan oleh Allah Sang Pencipta. Untuk itu Islam mengaturnya melalui muzâra'ah atau musâqah yakni sistem bagi hasil yang saling menguntungkan. Sistem ini mendapatkan sambutan baik di kalangan masyarakat dalam meningkatkan pendapatan keluarga.



B. Kemiskinan di Pedesaan

Sebagaimana dalam pendahuluan bahwa menurut hasil Sensus Penduduk 1980 menunjukkan sekitar 80 persen angkatan kerja di usia produktif berada di daerah pedesaan. Dan mayoritas penduduk miskin yang tinggal di daerah pedesaan mulai terus membanjiri kota-kota besar untuk mencari pekerjaan.

Pada hakekatnya pembangunan pedesaan adalah suatu upaya untuk mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan. Pembangunan pedesaan merupakan proses pengembangan kemandirian. Pengembangan kemandirian akan dapat meningkatkan pendapatan. Dan peningkatan pendapatan akan dapat menciptakan kesejakteraan keluarga dalam upaya menghindari masyarakat pedesaan dari himpitan kemiskinan akan terentaskan.

Tujuan yang terpenting dalam Islamic Distribution adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar (fulfillment of basic needs) dan mengentaskan kemiskinan (elimination of poverty). Di sini Nejatullah Siddiqi memberikan batasan tentang kebutuhan minimal, basic needs which have to be fulfilled can be identified easy. There can be no doubt that food, clothing and shelter (i.e housing), medical care and education are necessary for bare survival.[8]

Dari batasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan dasar adalah terpenuhinya kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, perumahan, kesehatan dan pendidikan.

Adapun M.A Mannan[9] memandang kemiskinan dari dua sisi yaitu kemiskinan materi dan kemiskinan spiritual. Karena Islam telah mengajarkan bahwa kemiskinan spiritual akan membuat kemerosotan moral. Seperti dalam hadits :

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي ص.م. : ليس الغنى عن كثرة العرض, ولكن الغنى غنى النفس. متفق عليه.
Artinya: Dari Abu Hurairah R.A. Dari Nabi Saw. Beliau bersabda :"bukanlah kaya itu karena banyaknya harta, akan tetapi kaya itu adalah kekayaan jiwa. (HR. Bukhari Muslim)

Kemiskinan pada sisi lain didefinisikan produktivitas yang rendah, hal ini sangat sulit dalam penanggulangiannya, karena masyarakat terjerembab dalam lingkaran yang tak terpecahkan. Mereka miskin karena produktivitasnya rendah dan produktivitasnya rendah karena mereka miskin. Mereka tidak menghasilkan sesuatu untuk disimpan. Untuk itu program peningkatan sumber daya manusia suatu alternatif terpenting dalam menanggulangi kemiskinan.[10] Ada beberapa ciri dalam mengenal profil penduduk miskin antara lain:

1. Kelompok miskin di tingkat pedesaan, pada umumnya terdiri dari petani marginal, buruh tani, nelayan kecil, pengrajin kecil dll.

2. Kelompok miskin di tingkat perkotaan, pada umumnya terdiri dari pekerja harian, pedagang asongan, pedagang kaki lima, pedagang pada gerobak dll.

3. Penduduk miskin yang tidak bekerja atau bekerja secara tidak penuh (full timer), pekerja harian (tidak tetap).

4. Tingkat pendidikan penduduk miskin pada umumnya sangat rendah (SD), bahkan ada yang tidak memperoleh pendidikan formal tidak dapat menulis dan baca.

Dari beberapa ciri profil penduduk miskin di atas dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang itu disebut miskin, bila pendapatan mereka rendah. Pendapatan rendah terjadi karena produktivitas rendah, yang merupakan konsekuensi dari kekurangan pendidikan, keterampilan, atau kurangnya tenaga karena konsumsi kalori yang rendah. Kurangnya kalori terjadi karena makanan yang kurang gizi, dan ini semua terjadi disebabkan karena pendapatan yang rendah. Dengan demikian tingkat pendidikan suatu masyarakat akan mempengaruhi kemiskinan dan juga tingkat kemiskinan yang terdapat dalam masyarakat akan berpengaruh terhadap kelangsungan pendidikan.

Menurut Hendra Esmara kemiskinan dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan absolute dan kemiskinan relative.[11]

Kemiskinan absolut (absolute poverty) adalah apabila tingkat pendapatannya lebih rendah dari pada garis kemiskinan absolute yang ditetapkan, atau dengan kata lain jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolute tersebut.

Kemiskinan relative (relative poverty) adalah perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, yakni antara kelompok yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari garis kemiskinan dan kelompok yang masyarakat yang relative kaya.

Atas perbedaan pengertian dari kemiskinan relative dan kemiskinan absolute di atas, maka kemiskinan diukur melalui perbandingan tingkat pendapatan seseorang dalam mencukupi kebutuhan. Disini Bank Dunia mengartikan kemiskinan yang disinyalir oleh Gunawan Sumodiningrat, "Poverty is concern with absolute standard of living of part of society the poor in equality refers to relative living standards across the whole society".[12] Kemiskinan adalah perbandingan tingkat pendapatan sebagian masyarakat miskin absolut dengan masyarakat dibawah garis kemiskinan relative dalam memenuhi kebutuhan dasar.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah seseorang yang tidak mempunyai kecukupan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need). Kemiskinan merupakan sindrome kehidupan yang jalinan fenomenanya saling kait-mengait (interdependensi) dari tingkat kebutuhan manusia yang diakibatkan dari kesenjangan pendapatan, khususnya di daerah pedesaan.

Atas dasar itu maka pengentasan kemiskinanan (poverty alleviation) merupakan usaha untuk mengurangi kesenjangan antara golongan ekonomi kuat dan ekonomi rendah (high economic and low economic). Dengan kata lain mengentaskan kemiskinan merupakan upaya untuk menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang berpendapatan menengah dan rendah.

Penanggulangan kemiskinan baik ditinjau dari kemiskinan absolut ataupun kemiskinan relative diatas, adalah sesuai dengan ketentuan dan ajaran Islam seperti yang diuraikan oleh Nejatullah Siddiqi bahwa : The fulfillment of basic needs, the elimination of absolute poverty and reducing relative poverty are all desirable goals of an Islamic distribution policy. However, each one of these has to be differentiated so far the extent of the guarantee of basic needs is concerned.[13]

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa Islam mengajarkan agar kemiskinan dapat ditanggulangi dengan berbagai macam solusi untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.



C. Mengentaskan Kemiskinan

Bicara tentang mengentaskan kemiskinan, maka ada baiknya penulis akan menguraikan tentang pengentasan. Mengentaskan berasal dari kosa kata “entas” yang artinya mengangkat dari suatu tempat ke tempat lain.[14] Jadi mengentaskan kemiskinan berarti mengangkat derajat orang miskin menjadi orang yang hidupnya berkecukupan dan sejahtera.

Dalam kamus bahasa Indonesia, kemiskinan berasal dari kata dasar “miskin” yang artinya tidak berharta, serba kekurangan. Kemiskinan artinya keadaan yang miskin.[15] Gunawan Sumodiningrat dalam bukunya Teori, Fakta dan Kebijakan mendefinisikan kemiskinan adalah tingkat pendapatan seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum.[16]

Jika istilah pengentasan kemiskinan sebagaimana yang diuraikan di atas yakni terjemahan dari poverty alleviation, maka mengentaskan kemiskinan adalah mengangkat derajat para dhu'afa yang kebutuhan minimalnya belum terpenuhi menjadi orang yang berkecukupan. Sedangkan istilah lain pengentasan kemiskinan diartikan dengan pemberantasan kemiskinan (Poverty eradication), maka inipun mengandung arti bahwa memberantas kemiskinan adalah memperkecil angka kemiskinan.

Kedua pengertian di atas mengandung arti bahwa mengentaskan kemiskinan adalah upaya untuk menanggulangi kemiskinan agar mereka dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga.



D. Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Dalam kenyataan sosial ada seseorang yang diberi Allah rizki lebih sehingga termasuk kelompok aghniya’, dan ada pula yang memperoleh rizki kurang sehingga termasuk kelompok masâkin, ini adalah kekuasaan Allah sebagaimana dalam al-Qur’an:

وَاللهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَادِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ أَفَبِنِعْمَةِ اللهِ يَجْحَدُونَ. النخل:71

Artinya: Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rizki itu) tidak mau memberikan rizki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rizki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah itu? Al Nahl :71



وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا. النساء : 36

Artinya: Dan berbuat baiklah kamu kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, para tetangga dekan dan jauh, teman sejawat, orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri mereka. Al Nisa : 36



Kedua ayat di atas memberikan pelajaran bahwa seorang yang dilebihkan rizkinya (kaya) hendaknya memberikan kepada yang kurang (miskin), sebab boleh jadi harta yang mereka peroleh (miliki) itu terdapat harta orang lain yang harus dikeluarkan. Itulah sebabnya Islam mewajibkan untuk mengeluarkan zakat.

Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang Allah SWT. mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu.[17]

Zakat merupakan sebagian harta tertentu yang dikeluarkan untuk orang-orang tertentu, menurut aturan dan dengan ukuran-ukuran yang tertentu pula.

Keberanjakan dari arti dan fungsi zakat di atas, maka Islam memerintahkan pemeluknya agar diambil sebagian hartanya orang kaya untuk dibagikan kepada yang berhak (mustahiq). Hal ini dijelaskan dalam al-Qur'an dengan firman Allah dalam Surat at Taubah ayat 103.

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمٌْ. التوبة : 103
Artinya: Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo'alah kamu untuk mereka.( At Taubah:103)

Fungsi zakat di samping sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT. yakni mensyukuri nikmat-Nya, maka zakat juga berfungsi untuk membantu dan menolong kaum dhu'afa dalam rangka mengentaskan kemiskinan ke arah kehidupan yang lebih baik sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT. terhindar dari bahaya kekufuran, yang pada gilirannya akan dapat menghilangkan garis kesenjangan sosial.

Hal ini juga ditegaskan oleh Nejatullah Siddiqi, ia memberikan solusi dalam mengentaskan kemiskinan, yaitu melalui program pendayagunaan zakat, karena Islam menetapkan adanya zakat yang harus diambil dari orang kaya untuk orang-orang miskin (kaum dhu'afa) dan jika tidak mencukupi, maka harus ada pajak tambahan yang ditarik untuk oleh pemerintah untuk mensubsidi orang yang berpendidikan rendah[18].

Dari uraian di atas, maka zakat ambil bagian dalam upaya mengentaskan kemiskinan, menanggulangi kesenjangan dan menciptakan kesejahteraan serta ketentraman. Di sini tampak jelas bahwa zakat merupakan alat untuk menghilangkan jurang pemisah antara sikaya dan simiskin, menghilangkan perbedaan sosial yang tajam, dan zakat yang beorientasi kepada kepentingan kaum dhu'afâ. Di sini dapat disimpulkan bahwa pendayagunaan zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan yang dimungkinkan dapat membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan economic with equity. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada orang-orang yang kaya, di mana perputaran uang hanya beredar di lingkungan mereka saja, seperti yang disinyalir Al-Qur'an surat al-Hasyr ayat : 7

.....كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ .......... (الحشر[59] : 7)
Artinya: ..... supaya harta itu jangan beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu...... ( Al-Hasyr[59]:7)

Pemberdayaan zakat merupakan penyeimbang dalam masyarakat. Jika zakat dikelola secara profesional, maka akan mampu membuka peluang untuk melakukan pemerataan kesejahteraan. Melalui pemberdayaan zakat dapat menciptakan lapangan kerja dan memberikan kesempatan berusaha dengan bantuan modal kepada warga miskin. Islam mendorong umatnya untuk bekerja dan berusaha sehingga memiliki harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Menurut A. Manan dalam The Economic of Poverty in Islam with Spesial Reference to Muslim Countries, Empirical evidence of the welfare programs has shown that this, has had a more important effect on the relative income position of the lower income groups than cash income-maintenance payment.[19] Program pendayagunaan zakat dimungkinkan dapat menurunkan angka kemiskinan dan melalui kesadaran dalam membayar zakat akan menumbuhkan perekonomian masyarakat kelas menengah ke bawah. Pendapat ini juga dilandasi oleh beberapa dalil al-Qur'an dan al-Hadits seperti dalam surah al-Ma’arij ayat 24-25

وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ.* لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ. المعارج : 24-25

Artinya: Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).

لا يؤمن أحدكم حتي يحِبَّ لأخِيه مايحبُّ لنفسهِ.

Artinya: Tidak dikatakan (tidak sempurna) iman seseorang, sehingga ia mencintai saudaranya, seperti mencintai dirinya sendiri.

Dengan demikian para ulama telah memasukkan tugas untuk memenuhi standar kebutuhan pokok ke dalam fardhu kifayah atau kewajiban kolektif seperti yang diungkapkan oleh Nejatullah Siddiqi, Our jurists include fulfilling the needs of the destitute in the list of socially obligatory duties (fard kifayah).[20] Lebih dari itu beliau menegaskan bahwa The most important goal on the Islamic distribution scheme is fulfillment of basic needs and the elimination of poverty.[21]

Islam bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Islam dan mengentaskan kemiskinan, hingga mendapatkan kehidupan yang sejahtera. Untuk mencapai taraf hidup yang sejahtera, maka harus bekerja, mobilisasi pemberdayaan dana zakat dan setiap individu berusaha dengan keras untuk memenuhi kebutuhannya sendiri guna menciptakan keluarga yang sejahtera serta menyongsong masa depan yang lebih baik. The first source of an individual's need fulfillment is his own income. He is normally expected to provide for himself and his wife and children by earning through services currently rendered and out of income from assets inherited or acquired in the past.[22]

Seiring dengan UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang menyebutkan bahwa :"Tiap-tiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Dan agar sejalan dengan tidak adanya kesenjangan, maka pembangunan perekonomian rakyat harus melibatkan rakyat di dalam pembangunan ekonomi, sehingga dalam pengembangannya dapat meningkatkan produktivitas rakyat, meningkatkan daya beli rakyat, membuka lapangan kerja bagi rakyat. Dalam pasal 34 ayat 1 UUD 1945 juga ditegaskan bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Di sini pihak pemerintah harus memberikan kesempatan dan kemudahan seluas-luasnya kepada rakyat untuk hidup, rakyat tidak boleh dibiarkan menganggur, terlantar dan dirundung kemiskinan.

Islam mengajarkan agar masyarakat berbuat keadilan (justice) dan berbuat kebaikan (doing good) seperti yang difirmankan oleh Allah dalam Surah al-Nahl ayat 90

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. النخل : 90
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Al Nahl: 90)

Rasulullah dalam haditsnya juga menegaskan bahwa tidak sempurna iman seseorang jika mereka makan hingga kenyang, sementara tetangganya kelaparan. Islam mengajarkan agar semua orang berusaha dan bekerja. Melalui kerja manusia dapat memperbaiki kehidupan untuk mencapai kesejahteraan.

وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى. النجم : 39

Artinya: Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (al-Najm : 39)

Jika memahami kembali makna dari ekonomi kerakyatan melalui pemberdayaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sini Islam menawarkan system mudhârabah, musyârakah, murâbahah, prifit and loss sharing.

Murasa Sarkaniputra membuat analisa financial yang mengacu pada pengalaman Chorafas (1995) yang mengakomodasikan fungsi DNA manusia, DNA-artificial yang membentuk chromosom muamalat ekonomi sehingga aktivitas perekonomian tercahaya oleh cahaya Allah. Dengan demikian perekonomian berdasarkan empat unsur DNA-artificial yaitu : 1. berbagi atas laba dan rugi (profit loss sharing) 2. Komoditas yang diusahakan yang halal dan thayyib فكلًو مما رزقكم الله حلالا طيبا, 3. Zakat dan 4. Upah yang harus dibayar sebelum keringat buruh mengering.[23]اعطوا الأجيرقبل أن يجف عرقه

Atas dasar pemikiran di atas, maka dalam tata kehidupan baik petani, pengrajin, pedagang, dan apapun profesi yang disandangnya menjadikan sumber nafkah yang harus selalu mengingat Tuhannya. Maka dalam sistem Islam, meskipun manusia sibuk mengejar kebutuhan materi, namun tidak akan mengabaikan kehadiran Tuhannya, karena Allah selalu mengawasi dan bersama kita. Seperti dalam al-Qur'an surat al-Hadid ayat 4, Allah berfirman :

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللهُُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ. الحديد [57] : 4

Artinya: Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Al Hadîd [57] : 4

إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ. الفجر[89] : 14

Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawas. Al-Fajr [89] : 14

Itulah sebabnya Allah mengingatkan bahwa setiap kegiatan berniaga harus selalu mengingat kepada-Nya.

رِجَالٌ لاَ تُلْهِيهِم تِجارة وَلاَ بَيع عَـنْ ذِكْرِ الله وَإقام الصلوة وإيتاء الزكوة يخافون يوما تتقلب فيه القلوب والأبصر. النور[24] : 37
Artinya: Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan sembahyang, dan dari membayar zakat, mereka takut kepada suatu hari yang dihari itu dan penglihatannya menjadi goncang. ( An-Nur[24] : 37)

Ayat di atas mengingatkan bahwa Allah memerintahkan umat Islam untuk memelihara keselarasan dan keseimbangan hidup. Dengan demikian Islam menjadikan kesejahteraan ekonomi prasyarat peningkatan moral dan kualitas manusia. Selama masyarakat belum memenuhi kebutuhan pokok, maka masyarakat tersebut akan menemui kesulitan dalam mewujudkan masyarakat sempurna, terlebih meningkatkan kualitas moralnya. Bila seseorang mendapatkan kelapangan rizki, maka hendaknya mereka mensyukuri rizki pemberian Allah. Ungkapan rasa terima kasih diwujudkan dengan menunaikan kewajiban membayar zakat. Cara yang sedemikian ini akan menambah kesuburan harta dan sekaligus dapat membantu kesejahteraan kaum dhu'afa dan masyarakat miskin.

Muhammad Nejatullah Siddiqi memberikan solusi dengan tiga prinsip dalam strategi penanggulangan kemiskinan:

There should be the least interference with the market process which results in the pricing of commodities and factors, allocates resources and the product.
The long-run objective should be enable the needy to acquire the means necessary.
It is imperative that the objective of need fulfillment is realized in the short-run as well as in the long run.[24]
Tiga prinsip di atas yaitu campur tangan terhadap aktivitas pasar seminimal mungkin, sasaran jangka panjang setiap program dalam pengentasan kemiskinan untuk menciptakan kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dan sasaran pemenuhan kebutuhan setiap programnya dibuat jangka pendek dan jangka panjang. Pengejawantahan dari program ini diperlukan pengkajian masalah dengan dua aspek :

1. Mengidentifikasi penyebab dari kemiskinan dan menanggulangiannya.

2. Program pemenuhan kebutuhan pokok dalam melaksanakan kebijakan ekonomi pembangunan.



Penutup

Tujuan yang terpenting dalam Islamic Distribution adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar (fulfillment of basic needs) dan mengentaskan kemiskinan (poverty alleviation) maupun (poverty eradication), Dan untuk memenuhi kebutuhan, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan harus dilakukan melalui kerja keras. Islam mendorong umatnya untuk bekerja dan berusaha sehingga memiliki harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Allah menciptakan manusia sekaligus diberikan kelengkapan, sarana dan fasilitas berupa Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang diperuntukkan kehidupan manusia, bahkan lebih dari itu, Dia-lah Allah yang memberikan kepercayaan sebagai khalifah pengelola, pemakmur dimuka bumi. Dengan demikian usaha dan kerja keras merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan sehingga dapat mengentaskan kemiskinan.

Jika seseorang dilebihkan rezekinya, maka ia wajib mengeluarkan zakat untuk disalurkan kepada para dhuafa’. Karena boleh jadi harta (rezeki) yang mereka peroleh (miliki) itu terdapat harta orang lain yang harus dikeluarkan. Itulah sebabnya Islam mewajibkan untuk mengeluarkan zakat. Sehingga zakat berfungsi untuk membantu dan menolong orang miskin untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka mengentaskan kemiskinan kearah kehidupan yang lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA

Al Qur'an al Karim

Al Hadits al Syarif

Ahmad H. Mustafa, The Economic Implications of Land Ownership and Land Cultivation in Islam, Topik dalam buku Distributive justice and need fulfillment in an Islamic Economy yang disusun oleh Munawar Iqbal, International Institute of Economics, International Islamic University, Islamabad and The Islamic Foundation, Leicester, UK

Badan Pusat Statistik Tahun 1983, Hasil Sensus Penduduk Indonesia Tahun 1980 Jakarta Seri S, Nomor 2, Jakarta 1983.

Baihaqi, Abd. Madjid, "Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan system Syariah", Penerbit (PINBUK), cet I, Jakarta 2000

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan“Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta : Balai pustaka,

Esmara, Hendra, "Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia", Jakarta: Gramedia, 1986.

Iqbal, Munawar, Distributive justice and need fulfillment in an Islamic Economy International Institute of Economics, International Islamic University, Islamabad and The Islamic Foundation, Leicester, UK

Manan, MA., The Economics of Poverty in Islam with Special Reference to Muslim Countries, Topik dalam buku Distributive justice and need fulfillment in an Islamic Economy yang disusun oleh Munawar Iqbal, International Institute of Economics, International Islamic University, Islamabad and The Islamic Foundation, Leicester, UK

Moehtadi, Fathoni, Prilaku Organisasi dan Analisis Struktur Organisasi, Bahan yang disajikan pada Diklat Analisis Manajeman bagi Pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Murasa Sarkaniputra, Murasa, “Revelation Based Measurement”, Jakarta : P3EI UIN, 2004.

Nejatullah Siddiqi, Mohammad, dalam tulisannya The Guarantee of a Minimum Level of Living an Islamic State Topik dalam buku Distributive justice and need fulfillment in an Islamic Economy yang disusun oleh Munawar Iqbal, International Institute of Economics, International Islamic University, Islamabad and The Islamic Foundation, Leicester, UK

Sumodiningrat, Gunawan, "Kemiskinan Teori, Fakta dan Kebijakan", Jakarta : IMPAC, 1999.

Seri Kajian Fiskal dan Moneter, " Strategi, Perencanaan dan Evaluasi Pengentasan Kemiskinan", Cet II, Jakarta : PT Bina Rena Pariwara, 1996

Setiawan, Bambang, “Arti penting studi jaringan komunikasi di Indonesia”Yogyakarta, Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Gajah Mada, 1980

Sinaga, R.S dan B. White, “Beberapa Aspek Kelembagaan di Pedesaan Jawa Dalam Hubungannya dengan Kemiskinan Struktural” Makalah dalam Konggres ke-III, Seminar Ilmiah Nasional, HIPIS, Malang 1979

Sumodiningrat, Gunawan, "Kemiskinan Teori, Fakta dan Kebijakan", Jakarta : IMPAC, 1999.

Swasono, Sri Edi, Tuduhan absurd; Perekonomian Rakyat dikatakan tidak konseptual, tulisan dalam rangkuman Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan system Syariah, editur Baihaqi Abd Majid, Saifuddin A. Rasyid, Jakarta : penerbit PINBUK, 2000




[1]Badan Pusat Statistik, Hasil Sensus Penduduk Indonesia Tahun 1980, Jakarta: Seri S, Nomor 2, Jakarta 1983. h. 51

[2]Munawar Iqbal, Distributive justice and need fulfillment in an Islamic Economy, Leicester UK: International Institute of Economics, International Islamic University, Islamabad and The Islamic Foundation, h. 12

[3]Ibid.

[4]Ahmad H. Mustafa, The Economic Implications of Land Ownership and Land Cultivation in Islam, Topik dalam buku Distributive justice and need fulfillment in an Islamic Economy yang disusun oleh Munawar Iqbal, Leicester, UK: International Institute of Economics, International Islamic University, Islamabad and The Islamic Foundation, h. 107

[5]Ibid.

[6]Mohammad Nejatullah Siddiqi dalam tulisannya The Guarantee of a Minimum Level of Living an Islamic State Topik dalam buku Distributive justice and need fulfillment in an Islamic Economy yang disusun oleh Munawar Iqbal, Leicester, UK: International Institute of Economics, International Islamic University, Islamabad and The Islamic Foundation, hal 253

[7]Ibid.

[8] Nejatullah Siddiqi, The guarantee of minimum needs and the elimination of poverty, Loc. Cit. h. 261

[9] M.A. Manan, The Economics of Poverty in Islam with Special Reference to Muslim Countries, Topik dalam buku Distributive justice and need fulfillment in an Islamic Economy yang disusun oleh Munawar Iqbal, Leicester, UK: International Institute of Economics, International Islamic University, Islamabad and The Islamic Foundation, h. 306

[10]Munawar Iqbal, Distributive justice and need fulfillment in an Islamic Economy yang disusun oleh International Institute of Economics, Leicester, UK: International Islamic University, Islamabad and The Islamic Foundation, h. 21

[11]Hendra Esmara, "Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia", Jakarta: Gramedia, 1986, h. 286

[12]Gunawan Sumodiningrat, "Kemiskinan Teori, Fakta dan Kebijakan" Jakarta: IMPAC, 1999, h. 2

[13]Nejatullah Siddiqi, The guarantee of minimum needs and the elimination of poverty , Loc. Cit.

Munawar Iqbal, Distributive justice and need fulfillment in an Islamic Economy International Institute

[14]Departeman Pendidikan dan Kebudayaan“Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Balai pustaka, cet. III, h. 233.

[15]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Loc. Cit., h. 587

[16]Gunawan Sumodiningrat, "Kemiskinan Teori, Fakta dan Kebijakan" Loc. Cit.

[17] Majma' Lughah al Arabiyah, al Mu'jam al Wasith, Mesir: Dârul Ma'arif, 1972, Juz I, h.. 396

[18]Nejatullah Sidqi, Loc. Cit.

[19]A. Manan dalam The Economic of Poverty in Islam with Special Reference to Muslim Countries, Distributive justice and need fulfillment in an Islamic Economy, Leicester UK.: International Institute of Economics, International Islamic University, Islamabad and The Islamic Foundation, h. 333

[20] Nejatullah Siddiqi The guarantee of minimum needs and the elimination of poverty, Loc. Cit. H.258

[21] Ibid.

[22] Ibid.

[23] Murasa Sarkaniputra, “Revelation Based Measurement”, Jakarta: P3EI UIN, 2004, h. 13

[24] Nejatullah Siddiqi, The guarantee of minimum needs and the elimination of poverty, Loc. Cit. h. 269

Tidak ada komentar:

Posting Komentar