Senin, 16 Agustus 2010

SALAM SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN

Salah satu tema yang menjadi bahasan hangat di kalangan akademisi dan pemerhati ekonomi syariah dewasa ini adalah upaya mencari terobosan baru bagi sarana pembiayaan yang bisa menggantikan sistem pembiayaan konvensional yang dinilai sudah semakin jauh dari prinsip dan nilai syariah, misalnya pengenaan bunga serta keuntungan sepihak yang tidak disertai kesediaan untuk bersama – sama menanggung resiko.
Sistem ekonomi syariah dengan berdasarkan pada prinsip dan nilai yg dikembangkannya mencoba mengelaborasi akad – akad yang selama ini dikenal dalam fiqh muamalat klasik untuk ditransformasikan menjadi sumber pembiayaan efektif bagi lembaga keuangan syariah yang berkembang dewasa ini. Salah satu dari banyak akad yang mempunyai peluang untuk diimplementasikan adalah Salam.
Salam tergolong jual beli dengan karakteristik khusus, yaitu, melakukan jual beli dengan pembayaran di muka dan menyerah terimakan barang (muslam fih) di kemudian hari sesuai waktu dan kadar yang ditentukan. Dalam kajian fiqih muamalat klasik, hukum salam menjadi sah bila pembeli (muslim) menyerahkan harga barang (ro’sul mal salam) kepada penjual (muslam ilaih) pada saat akad. Jika uang tidak diserahkan pada saat akad, maka hal tersebut tidak diperbolehkan, sebab akan timbul jual beli hutang. Sesuai sabda Rasulullah yang melarang jual beli hutang (Naha Rasulullah SAW an bay’il kali’ bil kali’).
Salam mempunyai kelebihan baik di sisi penjual maupun pembeli, yaitu, penjual dapat memperoleh modal melalui uang yang sebelumnya telah dibayarkan oleh pembeli. Di sisi lain, pembeli juga dapat memperoleh barang sesuai waktu yang dibutuhkannya dengan harga murah sebab penyerahan harga dilakukan lebih awal. Karena itu, salam dinilai mempunyai efektifitas cukup tinggi, sebab penjual dan pembeli relatif dapat menghitung keperluan masing – masing dengan tepat. Di samping juga mempunyai elastisitas, sebab dapat diimplementasikan pada berbagai sektor, baik pertanian, perdagangan maupun industri.
Salah satu contoh adalah model pembiayaan pertanian yang dilakukan oleh Bank Perdagangan Sudan pada tahun anggaran 1990/1991, melalui pembentukan panitia khusus yang dinamakan Panitia Pembiayaan Lembaga Pertanian Pemerintah yang berada di bawah koordinasi Bank Perdagangan Sudan. Skema pembiayaan yang digunakan menggabungkan antara murabahah dan salam. Murabahah digunakan untuk pembiayaan kebutuhan dasar pertanian, di mana lembaga pertanian memberikan keuntungan sewajarnya kepada bank atas pembelian kebutuhan dasar oleh bank untuk lembaga pertanian tersebut. Sedangkan salam digunakan untuk aktifitas perdagangan antara pihak bank dan lembaga pertanian, di mana bank akan membeli hasil produksi lembaga pertanian setelah diketahui sawahnya layak untuk dipanen. Pembiayaan ini dijamin penuh oleh Departemen Keuangan Sudan.
Sejak diimplementasikannya salam sebagai instrumen pembiayaan pada tahun anggaran 1990/1991 terjadi peningkatan pembiayaan yang cukup signifikan. Data yang dilansir oleh Bank of Sudan pada tahun 1991 menunjukan adanya peningkatan penyerapan pembiayaan sebesar 29,3 juta dollar Amerika berbanding 12,1 juta dollar Amerika saat masih menggunakan instrumen pembiayaan konvensional. Kenaikan ini secara konsisten meningkat hingga mencapai 65 juta dollar pada tahun anggaran 1992/1993.

Sebagai sebuah elaborasi dari akad fiqh klasik, salam juga perlu penyesuaian agar ketika diimplementasikan dapat menjadi instrumen pembiayaan yang komprehensif. Salah satu penyesuaian yang perlu dilakukan adalah penentuan jumlah barang pada saat akad dan keterkaitannya dengan waktu penyerahan yang dilakukan di kemudian hari. Ini menjadi penting sebab ketika dihubungkan dengan dampak inflasi pada harga – harga, jumlah barang juga dapat berubah. Misalnya, seorang pedagang A membeli apel satu kilogram untuk satu bulan ke depan dengan harga Rp. 10.000. Tepat satu bulan saat penyerahterimaan apel, tiba – tiba harga apel melonjak menjadi Rp. 15.000 per kilo. Sudah barang tentu penjual menanggung kerugian lebih besar, sebab harus menyerahkan apel satu kilogram dengan harga Rp. 10.000.
Untuk mengantisipasi dampak inflasi, apa yang dilakukan oleh Sudan pada sektor pertaniannya perlu untuk dicermati. Pertama, melakukan penghitungan kebutuhan pembiayaan pada setiap acre sawah guna mengetahui jumlah total pembiayaan yang diperlukan. Kedua, Menghitung rata – rata kemampuan produksi yang bisa dihasilkan oleh setiap acre sawah. Ketiga, penambahan keuntungan oleh pihak Bank kepada petani sebesar 33 persen di luar harga jual beli salam. Dengan cara ini harga produksi petani tetap terjaga dan resiko kerugian pada petani juga bisa dihindari.
Di sisi lain, Bank melalui bagian khusus di bidang investasi juga dapat memperoleh keuntungan dengan menjual lagi barang yang telah dibelinya melalui akad salam mawazi. Salam mawazi adalah dua akad salam yang dilakukan oleh tiga pihak berbeda, di mana bank sebagai pembeli atau pemodal pada salam pertama, menjual kembali barang yang telah dibelinya pada pihak ketiga dengan akad salam juga. Dengan catatan, penjualan itu dilakukan sesudah penyerahan hasil produksi oleh pembeli pertama, agar terhindar dari larangan menjual barang yang belum menjadi milik bank sepenuhnya. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga antara salam pertama dan kedua. Wallahu a’lamu bi as-sowab.


*Muhammad Riza Aziziy Hisyam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar