Pemasaran harus dikembalikan kepada karakteristik yang sebenarnya, yakni religius, etis, realistis, dan humanistis.
Beberapa tahun silam, ketika menjabat direktur sebuah perusahaan asuransi syariah, Syakir Sula ditelepon oleh calon nasabah besar yang sedang diprospek oleh perusahaannya. Orang tersebut minta diservis main golf. Syakir mengiyakan. Tapi orang itu minta main golfnya bukan di Jakarta, melainkan Bali.
Syakir menyetujui. Orang tersebut lalu minta dipesankan kamar hotel. Syakir memenuhi. Malam hari orang tersebut menelepon, ''Pak Syakir, kok kamarnya tidak ada isinya?'' Syakir terkejut, dan langsung menjawab, ''Ada, Pak. Coba Bapak periksa.'' Lelaki itu menelepon lagi, ''Betul, Pak Syakir. Tak ada isinya.'' Syakir menjawab, ''Ada, Pak. Coba Bapak buka kulkasnya. Saya sudah pesan ke petugas hotel, supaya diisi.'' ''Bukan itu, maksud saya, Pak, tapi isi yang bisa bergerak (maksudnya perempuan, {red}).'' Mendengar jawaban tersebut, Syakir Sula langsung berkata, ''Pak, Pak.
Bapak 'kan tahu, saya ini bekerja di perusahaan syariah. Tidak mungkin dong saya menyediakan hal-hal yang begitu.'' Lelaki itu menjawab, ''Saya lagi ngetest, Pak Ustad. Saya kira Pak Syakir lupa bahwa Bapak bekerja di perusahaan syariah.'' Namun ada pula yang menjawab, ''Kalau tahu begini, untuk apa jauh-jauh datang ke Bali?''
Hal itu diceritakan oleh Syakir Sula, yang kini menjadi Ketua Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), pada seminar bertajuk Marketing Seminar Life Insurance Planning-Sharia Way yang diselenggarakan oleh LN Consulting bekerja sama dengan AASI dan Financial Planning Association Indonesia (FPAI) di Jakarta pekan silam. ''Selama 10 tahun bekerja di perusahaan syariah, saya seringkali mengalami hal seperti itu. Namun saya selalu tegas mengatakan, 'Kami di perusahaan syariah tidak mengenal yang namanya praktik-praktik demikian,'' kata President Club, Sharia Financial Planner Club itu.
Sudah bukan rahasia lagi, ada tenaga pemasaran (marketer) yang melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan bisnis. Mereka, terpaksa atau pun tidak, memberikan bermacam-macam servis kepada calon klien/nasabah/pemberi proyek. Servis itu bisa berupa uang, barang, hingga pelayanan di tempat tidur, baik dilakukan sendiri maupun membayar penyedia jasa layanan seks. ''Cara-cara marketing yang seperti itu tidak benar.
Kegiatan marketing atau pemasaran harus dikembalikan kepada karakteristik yang sebenarnya, yakni religius, beretika, realistis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humantistis). Inilah yang dinamakan marketing syariah, dan inilah konsep terbaik marketing untuk hari ini dan masa depan,'' kata penulis buku Spiritual Marketing bersama Hermawan Kertajaya (Penerbit Mizan Bandung, Oktober 2005).Mengutip pernyataan pakar pemasaran Hermawan Kertajaya, Syakir menegaskan, seorang marketer harus taat pada agamanya (saleh). Kalau tidak, ia bisa menipu nasabah.
Seorang tenaga pemasaran juga harus berakhlak mulia. Kalau tidak, ia bisa amoral. ''Sudah waktunya para tenaga pemasaran berpegang teguh pada marketing syariah atau marketing spiritual,'' tegas CEO Batas Tazkia. Syakir mengemukakan, salah satu keistimewaan marketing syariah adalah sangat memperhatikan masalah akhlak (moral, etika) dalam seluruh aspeknya. ''Terjadinya kasus Enron, Worldcom, Global Crossing, atau sejumlah kasus besar di Indonesia seperti BLBI, KPU, Bank Mandiri, DAU Depag dan sebagainya adalah beberapa contoh saja betapa nilai akhlak, moral dan etika sudah tidak ada lagi dalam kultur masyarakat kita. Karena itu, marketing syariah menjadi demikian penting bagi para marketer untuk menjadi panduan dalam melakukan penetrasi pasar,'' tandas Syakir.
Marketing syariah, tambah Syakir, juga sangat memperhatikan segi humanistis. Implementasinya dalam marketing syariah adalah menciptakan tenaga marketer yang memiliki harkat dan derajat terhormat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya dapat dikekang. Marketing syariah yang humanistis itu cocok untuk seluruh manusia tanpa menghiraukan agama, suku, ras, warna kulit, kebangsaan dan status. ''Karena itu, marketing syariah itu bersifat universal,'' tutur Syakir.
Pakar ekonomi Islam Dr Jafril Khalil mengungkapkan, perspektif pemasaran dalam Islam yakni ekonomi Rabbani (divinity), realistis, humanis, dan keseimbangan. ''Inilah yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional. Marketing menurut Islam memiliki nilai dan karakteristik yang menarik,'' ungkapnya dalam kesempatan yang sama. Ia menambahkan, marketing syariah meyakini bahwa perbuatan yang dilakukan seseorang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Selain itu, marketing syariah mengutamakan nilai-nilai akhlak dan etika moral didalam pelaksanaannya. ''Karena itu, marketing syariah menjadi penting bagi para tenaga pemasaran untuk melakukan penetrasi pasar,'' tegasnya.
Aa Gym, Arifin Ilham, Ary Ginandjar
Syakir Sula membantah anggapan sebagian orang, bahwa produk syariah tidak bisa dijual, karena tenaga marketernya menerapkan prinsip-prinsip pemasaran yang berlandaskan syariah. Termasuk di dalamnya memegang teguh kejujuran. ''Anggapan itu tidak benar. Kita akan dapat memperoleh bisnis dengan cara yang jujur dan selalu menjaga etika. Contoh yang paling menarik adalah KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, Ustad Arifin Ilham, Ary Ginandjar Agustian, dan Syafi'i Antonio,'' tandasnya.
Aa Gym berhasil memasarkan 400 unit rumah di Lembang, Jawa Barat, hanya dalam waktu kurang dari seminggu. Bahkan yang waiting list 200 orang. Padahal yang ditawarkan itu baru berbentuk kavling. ''Modalnya apa? Kejujuran!'' tutur Syakir Sula. Arifin Ilham juga sukses memasarkan 500 unit rumah Islami di Sentul, Jawa Barat, hanya dalam waktu singkat. ''Modalnya sama, yakni kejujuran!''
Ary Ginandjar Agustian, seorang trainer dan pengusaha yang mengenalkan ESQ (Emotional Spiritual Quotient) berdasarkan Islam, juga berhasil memasarkan seluruh unit/ruang satu gedung perkantoran yang akan dibangun di Jl Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan, pesanan melebihi jumlah ruang yang tersedia. ''Lagi-lagi, modalnya adalah kejujuran.'' Demikian pula dengan Muhammad Syafi'i Antonio, seorang pakar ekonomi Islam ternama di Indonesia, dan sangat berperan penting menyosialisasikan prinsip syariah dalam perekonomian Indonesia. ''Ia pun sukses memasarkan bisnisnya karena menerapkan marketing syariah.''
Asuransi syariah
Salah satu produk lembaga keuangan syariah adalah asuransi syariah. ''Sebagai perusahaan syariah, para marketer asuransi syariah harus senantiasa berpegang teguh pada akhlak yang mulia,'' tegasnya. Ia menegaskan, industri asuransi syariah memiliki prospek yang bagus untuk terus eksis. ''Karenanya, para marketer-nya memiliki tantangan yang cukup besar untuk meningkatkan pangsa pasar yang lebih luas,'' tandasnya.
Syakir menyebutkan, saat ini dalam industri asuransi konvensional, terjadi pergolakan. Sebab, masyarakat kini mulai melirik produk asuransi syariah. Hal ini, kata dia, diketahui pada tahun 70-an silam. Saat itu, ungkapnya, konsep asuransi konvensional yang menganut sistem transfer risk (pelimpahan risiko), mulai bergeser ke konsep asuransi syariah yang menganut sistem ta'awun (tolong-menolong) yang mengedepankan sharing risk (risiko ditanggung bersama). ''Amerika dan Eropa sejak tahun 70-an telah meninggalkan konsep asuransi tradisional,'' kata pria kelahiran Palopo (Sulsel), 12 Februari 1964.
Syakir mencontohkan beberapa produk asuransi jiwa dan asuransi umum yang mulai menggunakan produk-produk model syariah. Seperti produk-produk inovatif yang berupa unit link dan bancassurance pada asuransi jiwa (kerugian), ungkapnya identik dengan model al-wakalah minus riba dalam syariah. Demikian juga dengan asuransi umum yang menciptakan produk-produk P & I (Protection and Indemnity untuk perusahaan sejenis), dan OIL (Oil Insuranse Limited untuk perusahaan minyak yang identik dengan akad al-musyarakah dalam Islam).
Syakir menambahkan, di Amerika dalam 10 tahun terakhir terdapat 109 perusahaan asuransi yang tutup, karena rapuhnya teori dan konsep asuransi konvensional. Mereka, kata Syakir, mengatakan di syariah terdapat konsep yang lebih bagus. Sebuah konsep bisnis yang tidak berisiko, karena risiko ditanggung bersama, adil dan transparan.
Sembilan Etika Pemasaran
Muhammad Syakir Sula mengatakan, dalam Islam terdapat sembilan macam etika (akhlaq) yang harus dimiliki seorang tenaga pemasaran. Dalam buku berjudul Spiritual Marketing yang dirumuskannya bersama pakar pemasaran Hermawan Kertajaya, Syakir menyebutkan, kesembilan etika tersebut adalah (1) Memiliki kepribadian spiritual (Taqwa); (2) Berkepribadian baik dan simpatik (Shiddiq); (3) Berlaku adil dalam berbisnis (al-'adl); (4) Melayani nasabah dengan senyum dan rendah hati (khitmah). (5) Selalu menepati janji dan tidak curang (tahfif); (6) Jujur dan terpercaya (amanah); (7) Tidak suka berburuk sangka; (8) Tidak suka menjelek-jelekkan; dan (9) Tidak melakukan suap (riswah).
Dengan kesembilan etika pemasaran yang harus dimiliki seorang tenaga marketing ini, maka ia optimistis produk-produk syariah akan laku dan mampu bersaing dengan produk konvensional yang telah lebih dulu eksis, untuk kemudian merebut pangsa pasarnya.
Mengapa Harus Menawarkan Unit Link Syariah?
Salah satu produk lembaga keuangan syariah adalah Unit Link Syariah. Menurut Vice President Director PaninLife, Tri Djoko Santoso, CLU, ChFC, ada 10 alasan utama mengapa industri asuransi syariah harus menawarkan produk Unit Link Syariah. Pertama, agar dapat meningkatkan penyerapan asuransi syariah di Indonesia. Ia menyebutkan, pertumbuhan dan pangsa pasar asuransi syariah dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Kedua, untuk menjangkau pasar yang lebih luas dan upaya untuk meningkatkan market share asuransi syariah. Tri mengungkapkan, berdasarkan hasil studi bandingnya ke beberapa negara lain, terdapat beberapa motivasi dalam berinvestasi pada industri syariah. Yakni, kepatuhan terhadap syariah (tuntunan agama) sekitar 20-30 persen, keinginan untuk memperoleh manfaat (40-60 persen, dan yang tidak mempertimbangkan antara syariah dan ekonomi (20-30 persen).
Ketiga, meningkatkan revenue dan memperkecil risiko usaha. Keempat, untuk efisiensi modal; kelima sebagai sumber pendanaan; keenam sebagai sumber fee based income; ketujuh, peluang bisnis syariah yang makin besar; kedelapan, profesional; kesembilan peluang pasar terbuka lebar; dan kesepuluh untuk peluang transformasi (pencerahan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar