Selasa, 10 Agustus 2010

Mencermati Ekspansi Kredit Konsumsi

SENTIMEN investor pasar modal terhadap Indonesia tampaknya sedang positif, terutama di pasar obligasi. Berita minggu lalu mengenai melonjaknya permintaan investor asing terhadap obligasi negara dan obligasi dollar Bank Mandiri menambah rasa percaya diri peserta pasar. Di pasar saham, walaupun belum signifikan, kami juga melihat beberapa manajer investasi asing mulai melakukan pembelian.
AKAN tetapi, agar tidak terulang kembali rasa percaya diri yang berlebihan seperti di tahun 1996, pemerintah dan investor dalam negeri tetap perlu berhati-hati mencermati perkembangan ini. Salah satu tren yang sedang diamati investor asing adalah perkembangan kredit konsumsi. Apakah gebyar kredit konsumsi saat ini masih dalam taraf sehat atau sedang menuju overheating seperti sektor kartu kredit di Korea Selatan (Korsel).
Beberapa orang bertanya kepada saya, apa iya sektor kredit konsumsi yang baru saja bangkit sudah dianggap overheating. Saya beranggapan, perkembangan kredit konsumsi masih dalam taraf wajar, walaupun memang harus diwaspadai karena dalam waktu dua setengah tahun, porsi kredit konsumsi meningkat dua kali lipat menjadi 22 persen dari jumlah seluruh kredit perbankan.
Walaupun persentase kredit konsumsi di Indonesia masih sangat kecil dibandingkan Korea Selatan, tingkat pertumbuhannya sama cepatnya dengan di negara itu. Di Korsel, persentase kredit kepada sektor rumah tangga di tahun 1997-1998 sekitar 18 persen. Tetapi dalam waktu empat tahun, kredit ke sektor rumah tangga melonjak pesat, baik jumlah maupun proporsinya.
Menurut data laporan riset Dana Moneter Internasional (IMF), kredit ke sektor rumah tangga di Korsel per Juni 2002 sudah melonjak menjadi 40 persen dari total kredit. Kredit konsumsi, salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi Korsel tahun lalu.
Ternyata, melonjaknya kredit konsumsi di Korsel di tahun 2002 mulai menunjukkan gejala overheating, ditandai dengan meningkatnya porsi kredit bermasalah kartu kredit. Menurut Business Week edisi Mei 2002, transaksi kartu kredit di Korea Selatan tahun 2001 berjumlah 333 miliar dollar AS, melonjak tujuh kali lipat dari jumlah transaksi tahun 1998.
Dengan jumlah penduduk hanya 48 juta orang, jumlah kartu kredit di negara tersebut melonjak dua kali lipat dalam waktu tiga tahun dari 42 juta kartu menjadi 89,3 juta kartu. Artinya, di negara itu, setiap penduduk berusia di atas 20 tahun mempunyai empat kartu kredit! Rasio yang fantastis.
Situasi industri kartu kredit di Korea Selatan kemudian mulai menunjukkan gejala batuk-batuk di akhir tahun 2002. Jumlah tagihan bermasalah naik dari 7,9 persen di bulan Juni menjadi 9,2 persen di bulan November 2002. Maka kemudian akhir tahun lalu, regulator perbankan di Korsel menaikkan ketentuan pencadangan kredit bermasalah dan rasio kecukupan modal perusahaan pembiayaan kartu kredit.
Hampir saja keadaan di Korsel menjadi tidak terkendali karena di saat bersamaan di awal tahun 2003 terjadi skandal keuangan konglomerat SK Group dan krisis nuklir Korea Utara. Investor menjual saham dan obligasi perusahaan kartu kredit, seperti LG Card dan Kookmin Credit Card.
Di negara tersebut, perusahaan kartu kredit sudah menerbitkan obligasi. Akibatnya, hampir saja perusahaan-perusahaan kartu kredit Korsel kesulitan likuiditas karena tidak mampu membayar utang obligasi jatuh tempo.
Untungnya, Pemerintah Koresel bulan Maret lalu menyediakan likuiditas serta memerintahkan perbankan dan industri keuangan untuk bersedia memperpanjang obligasi yang jatuh tempo dan menunda selama setahun penerapan peraturan kehati-hatian untuk sektor industri kartu kredit.
Kredit konsumsi di Korea
Melihat kondisi industri kartu kredit di Korsel, maka sebelum terlambat, regulator di Indonesia harus bertanya, apakah sudah saatnya membatasi kredit konsumsi, terutama kredit kendaraan bermotor yang tumbuh pesat tiga tahun terakhir. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka harus terlebih dahulu dijawab pertanyaan, apa sih bahayanya jika perbankan Indonesia terlalu giat menyalurkan kredit konsumsi?
Dari sisi risiko kredit, pengalaman krisis tahun 1998–1999 menyimpulkan bahwa bukan debitor kredit konsumsi yang membuat masalah kepada sektor perbankan, tetapi kredit korporasi, terutama kredit valuta asing. Kredit korporasi valuta asing menjadi macet karena banyak kredit disalurkan bukan kepada perusahaan ekspor, tetapi kepada sektor non-ekspor seperti properti, perhotelan, jalan tol, dan industri-industri yang berorientasi pasar dalam negeri.
Kredit korporasi yang macet tersebut kemudian sulit untuk direstrukturisasi karena banyak debitor korporasi sebagai "debitor raksasa dan tidak kooperatif".
Karena trauma kredit macet sektor korporasi, ditambah belum banyaknya permintaan kredit investasi dari debitor korporasi yang sehat, perbankan Indonesia sekarang berlomba-lomba menyalurkan kredit modal kerja kepada sektor menengah dan kredit mobil atau motor kepada perorangan.
Kredit kepemilikan rumah biasanya risiko macetnya lebih kecil dibandingkan kredit besar. Paling tidak bagi perbankan Indonesia, dari segi menagih pembayaran dan mengambil alih jaminan, pengalaman membuktikan bahwa di negara ini jauh lebih mudah menghadapi debitor kecil atau perorangan dibandingkan debitor besar karena penegakan hukum lemah.
Faktanya, sampai saat ini, kredit bermasalah untuk pembiayaan mobil dan motor sangat rendah, di bawah 3 persen. Hal ini juga ditunjang pula oleh pasar mobil bekas yang cukup likuid sehingga nilai jaminan tidak terlalu merosot.
Jadi dari sisi strategi diversifikasi risiko, sebenarnya tidak ada salahnya perbankan Indonesia saat ini menaruh perhatian besar ke sektor kredit konsumsi. Tetapi, biasanya sesuatu yang tumbuh terlalu cepat, seringkali akan menimbulkan masalah jika tidak segera dibuat aturan kehati-hatiannya.
Hal ini akan menjadi masalah apabila persaingan meningkat sehingga bank atau lembaga pembiayaan terpaksa menurunkan persentase uang muka, memperpanjang jangka waktu kredit, dan mulai merambah ke pembiayaan pembelian mobil bekas, motor bekas, dan rumah kedua, rumah ketiga, dsb
Kredit konsumsi di Indonesia disalurkan perusahaan pembiayaan dan perbankan. Tetapi, total aset usaha jasa pembiayaan kecil sekali. Per November 2002 hanya Rp 40 triliun. Bandingkan total kredit perbankan sebesar Rp 370 triliun dan aset perbankan Rp 1.100 triliun. Bagi industri jasa pembiayaan, kredit konsumsi merupakan salah satu jenis usaha pembiayaan di samping sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), dan kartu kredit.
Sebelum krisis 1997, sewa guna usaha memegang porsi terbesar segmen usaha industri pembiayaan. Tetapi per November 2002, data Bank Indonesia menunjukkan pembiayaan konsumen sudah lebih besar daripada sewa guna usaha. Sewa guna usaha per November 2002 adalah Rp 12,8 triliun, sedangkan pembiayaan konsumen meningkat dari Rp 12,4 triliun menjadi Rp 15,4 triliun.
Sewa guna usaha sampai tahun lalu masih belum berkembang karena sektor ini termasuk sektor korporasi, yang mana belum banyak pengusaha yang membutuhkan investasi mesin atau alat-alat berat baru.
Sejak tiga tahun terakhir, perbankan berlomba mengajak perusahaan pembiayaan bekerja sama menyalurkan kredit konsumsi, terutama kredit mobil dan kredit motor. Skema kerja sama ini dikenal sebagai joint financing atau chanelling.
Pada intinya, dengan skema joint financing, perbankan menyalurkan kredit pembelian mobil atau motor melalui perusahaan pembiayaan (finance company), di mana biasanya perbankan mengambil porsi 90 persen, dan porsi kredit finance company 10 persen.
Bank Danamon, BCA, Bank Mega, dan Bank Mandiri cukup aktif melakukan strategi joint financing. Suku bunga kredit yang ditawarkan kepada perusahaan pembiayaan saat ini sekitar 18 persen, dan kemudian perusahaan pembiayaan akan menyalurkan kredit kepada nasabah sekitar 23 persen untuk kredit mobil, dan 35 persen untuk kredit sepeda motor! Perlu diketahui, biaya operasional bisnis kredit sepeda motor lebih tinggi dari kredit mobil.
Karena perusahaan pembiayaan mempunyai keahlian di bidang ini dan mempunyai akses langsung ke nasabah, perusahaan pembiayaan mendapat tambahan fee dari kegiatan evaluasi kredit, administrasi, dan penagihan cicilan kredit.
Jadi, nasib bank tergantung pada kinerja dan integritas manajemen perusahaan pembiayaan sebagai mitra bisnis bank. Penting sekali bagi bank untuk mengevaluasi "karakter dan track record" manajemen perusahaan pembiayaan yang akan diajak bekerja sama sebagai mitra joint financing. Jangan sampai terulang kasus Putra Surya Multidana.
Selain menjalankan strategi joint financing, beberapa bank mencoba untuk langsung menyalurkan kredit pembelian mobil kepada nasabah, tanpa melalui finance company. Hanya saja saya heran melihat suku bunga kredit yang ditawarkan hanya sekitar 17 persen per tahun, yang sepertinya terlalu rendah untuk menutup biaya operasional kredit konsumsi.
Pembiayaan dan obligasi
Dengan maraknya minat investor terhadap obligasi rupiah, maka beberapa perusahaan pembiayaan ikut terjun ke pasar modal, menerbitkan obligasi. Tujuannya, sebagai diversifikasi sumber pendanaan, tidak melulu joint financing perbankan.
Hanya saja, saran saya, investor harus juga berhati-hati. Susunan pemegang saham, karakter manajemen, keterbukaan informasi, dan kinerja historis perusahaan pembiayaan tersebut harus menjadi pegangan utama bagi investor.
Perusahaan seperti grup ACC (Astra Sedaya Finance), FIF, dan Oto Multiartha sudah mempunyai reputasi baik di pasar. (Bahana Securities pernah menjadi underwriter untuk obligasi FIF Rp 300 miliar di tahun 2002).
Unsur jaminan (collateral) obligasi lembaga pembiayaan menurut saya tidak ada artinya. Obligasi lembaga pembiayaan biasanya menjaminkan piutang kredit, bukan fixed asset.
Padahal, apabila perusahaan pembiayaan mengalami kredit macet dalam jumlah besar, dari mana perusahaan pembiayaan tersebut akan mendapat piutang kredit yang masih lancar untuk dijaminkan kepada investor, apa mungkin mereka membayar tagihan jatuh tempo. Lain halnya jika investor mempunyai akses langsung mengambil aset fisik berupa mobil atau motor yang dibiayai. Itu pun investor masih bermasalah penyimpanan dan penjualan mobil dan motor sitaan.
Kupon bunga obligasi yang ditawarkan juga harus diperhatikan. Tidak selayaknya obligasi lembaga pembiayaan menawarkan kupon bunga 14 persen atau hanya 2 persen di atas yield obligasi negara, kecuali jika kemampuan pemegang sahamnya sama kuatnya dengan Pemerintah RI (yield obligasi negara saat ini 12 persen). Saran ini berlaku juga untuk obligasi nonlembaga pembiayaan, seperti perusahaan konstruksi, properti, pengolahan kayu.
Fenomena ini memang aneh, bunga kredit bank jangka pendek masih 17,5 persen, tetapi pasar obligasi berani menawarkan bunga kredit jangka panjang 14 persen.
Mungkin perbankan keras kepala, mungkin juga pasar obligasi sudah mulai bubble. Jangan korbankan prinsip kehati-hatian. Uang yang dikelola bank, reksa dana, asuransi, dana pensiun, uang masyarakat juga.
Mirza Adityaswara Head of Research, Bahana Securities

Tidak ada komentar:

Posting Komentar