Senin, 13 September 2010

PEMIKIRAN EKONOMI ABU YUSUF

Ilmu ekonomi modern yang saat ini berkembang pesat di Barat, adalah merupakan kelanjutan perkembangan ilmu ekonomi dari masa ke masa, mulai zaman pra sejarah sampai zaman modern saat ini, tanpa terputus sama sekali. Semua peradaban yang pernah eksis dalam sejarah kehidupan manusia turut andil dalam proses evolusi ilmu ekonomi. Ada suatu masa di mana peradaban Islam berada pada puncak kejayaannya dan berkontribusi besar dalam pengembangan science termasuk di dalamnya ilmu ekonomi, namun masa kejayaan ini berusaha ditutup rapat oleh para Ilmuan Barat dan Eropa yang menurut Schumpeter dalam economic analysisnya disebut sebagai Great Gap.

Salah satu ilmuan Muslim yang berkontribusi besar dalam pemikiran ekonomi adalah Abu Yusuf. Sebenarnya banyak teori ekonomi dan konsep keuangan publik yang lahir dari buah pikirannya, sebelum teori dan konsep tersebut secara masive berkembang di alam pikiran Ilmuan Barat. Besar dugaan bahwa Ilmuan Barat banyak mengutip secara sembunyi-sembunyi pemikiran Abu Yusuf dalam berbagai persoalan ekonomi tanpa mengikutsertakan sumber referensinya.

Tulisan ini berusaha menelusuri pokok-pokok pemikiran Abu Yusuf tentang konsep ekonomi. Abu Yusuf yang nama lengkapnya adalah Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husaen al-Anshory adalah seorang Ulama yang memiliki keilmuan yang luas dalam berbagai pesoalan kehidupan. Ia lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia di Bagdad pada tahun 182 H (798 H). Pemikiran-pemikiran nya dituangkan dalam berbagai karyanya, kitab al-Kharaj mungkin adalah karyanya yang paling fenomenal sepanjang sejarah. Karena keluasan dan kedalaman ilmunya, Khalifah Dinasti Abbasiyah, Harun ar-Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai ketua Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudhah). Beliau juga terkenal sebagai salah satu murid dan pengikut Abu Hanifah pendiri Mazhab Hanafi.

Pendekatan dan metode pemikiran yang digunakan oleh Abu Yusuf adalah dengan mengkombinasikan dalil naqliah dengan dalil aqliah, paparan pemikiran ekonominya menggunakan perangkat analis qiyas dengan mengedepankan konsep al-mashlahah al-‘ammah (kemaslahatan umum), sehingga buah pemikirannya dianggap lebih relevan dan fleksibel dengan kondisi yang ada.

Setidaknya ada dua hal yang menjadi kontribusi besar Abu Yusuf dalam perkembangan ilmu ekonomi, yakni pemikirannya tentang konsep keuangan publik (perpajakan) dan mekanisme pasar (hukum supply-demand) . Pembahasan tentang kedua konsep dasar tersebut bisa ditemukan dalam bukunya, kitab al-Kharaj. Kitab al-Kharaj sebenarnya menjadi buku panduan dalam kebijakan pengelolaan keuangan publik. Kitab ini lebih bersifat birokratif karena ditulis sebagai respon atas pertanyaan khalifah Harun al-Rasyid seputar keuangan negara yang berhubungan dengan permasalahan pajak, administrasi pendapatan dan pengeluaran negara yang didasarkan pada ketentuan agama (shariah Islam) demi menciptakan kesejahteraan dan keadilan masyarakat dan mencegah terjadinya kedzaliman dan penindasan.

Yang menjadi prinsip dasar pemikiran Abu Yusuf tentang ekonomi adalah bahwa semua kekayaan yang dikumpulkan dan dikelola oleh khalifah adalah amanah dari Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Semua kebijakan negara harus mengedepankan aspek kepentingan rakyat seluas-luasnya.

Dalam konsep keuangan publik, penerimaan negara menurut Abu Yusuf dapat diklasifikasin dalam tiga kategori utama, yaitu (1) Ghanimah, (2) Shadakah, (3) harta fay yang didalamnya termasuk jizyah, ‘usyur dan kharaj. Ghanimah adalah harta orang kafir yang dikuasai oleh kaum Muslim melalui peperangan. Penerimaan negara ini sifatnya tidak rutin sehingga digolongkan sebagai pemasukan tidak tetap. Teknis pendistribusiannya sesuai dengan panduan dalam al-Qur’an Surat al-Anfal ayat 41.

Zakat, menurut Abu Yusuf menjadi sumber keuangan negara. Diantara objek zakat yang menjadi perhatiannya adalah zakat pertanian dan zakat dari hasil barang tambang. Penentuan persentase zakat pertanian didasarkan pertimbangan pada jenis tanah dan irigasinya. Tanah yang tidak membutuhkan tenaga yang banyak dalam irigasinya, jumlah zakatnya 10 persen, sementara 5 persen jika tanah memerlukan kerja keras untuk menyediakan air dan irigasinya. Dalam penentuan jumlah persentasi ini selain merujuk pada nash, Abu Yusuf nampaknya sangat mengedepankan aspek keadilannya.

Sumber pendapatan negara lainnya menurut Abu Yusuf adalah harta fay. Jenis harta ini termasuk didalamnya jizyah; pajak yang ditarik dari penduduk non Muslim di negara muslim sebagai biaya perlindungan, Usyr; pajak harta perdagangan yang dipungut dari kaum Muslim maupun non-Muslim, dan Kharaj; pajak tanah yang dipungut dari non Muslim. Jenis yang terakhir ini menjadi sumber pendapatan utama negara islam sepanjang pemerintahan khilafah Islam.

Dalama pandangan Abu Yusuf, fungsi utama penguasa adalah mewujudkan dan menjamin terciptanya kesejahteraan rakyatnya. Alokasi anggaran keuangan negara harus didistribusikan pada pengadaan barang-barang publik demi terwujudnya kesejahteraan umum. Konsep tentang barang publik (public goods) sudah dikemukan oleh Abu Yusuf jauh sebelum konsep ini muncul dalam teori konvensional tentang keuangan publik. Negara harus membangun fasilitas infrastruktur seperti penggalian kanal, pembersihan kanal-kanal umum yang biayanya diambil dari anggaran negara. Beliau juga berpendapat bahwa fasilitas yang hanya menguntungkan pihak tertentu maka biaya pengadaan dan pemeliharaannya dibebankan kelompok tersebut.

“jika proyek seperti itu menghasilkan perkembangan dan peningkatan dalam kharaj, anda harus memerintahkan penggalian kanal-kanal ini. Semua biaya harus ditanggung oleh keuangan negara. Jangan menarik biaya itu dari rakyat dari wilayah tersebut karena mereka yang seharusnya ditingkatkan, bukan dihancurkan.” (kutipan dari Adiwarman, 2009)

Abu Yusuf memahami betul bahwa pengadaan barang-barang publik akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Fasilitas umum akan meningkatkan produktivitas masyarakat. Jika tingkat produksi meningkat maka pendapatan negara dari sektor pajak pun akan mengalami peningkatan.

Dalam konsep perpajakan, Abu Yusuf lebih mengunggulkan sistem pajak proporsional (muqasamah) dibandingkan sistem pajak tetap (misahah). Misahah adalah metode penghitungan kharaj yang didasarkan pada pengukuran tanah tanpa mempertimbangakan unsur kesuburan tanah, irigasi dan jenis tanaman. Sedangkan metode muqasamah, tingkat pajak didasarkan pada ratio tertentu dari total produksi yang dihasilkan. Beliau menilai sistem pajak proporsional (muqasamah) lebih adil dan tidak memberatkan bagi para petani sedangkan sitem pajak tetap (misahah) tidak memiliki ketentuan apakah harus ditarik dalam jumlah uang atau barang. Konsekuensinya, ketika terjadi fluktuasi harga bahan makanan, antara perbendaharaan negara dengan para petani akan saling memberikan pengaruh negatif.

Dalam penentuan tingkat pajak harus mempertimbangkan jenis tanah, irigasi dan jenis tanamannya demi memastikan terjadinya keadilan dalam pemungutan pajak.

Abu Yusuf juga menekankan pentingnya menunjuk administrator pajak yang amanah dan tidak koruptif. Mereka harus bekerja secara professional dan ia menganjurkan gaji mereka diambil dari bait mal dan bukan dari pembayar kharaj langsung. Ini dilakukan demi menghindari terjadinya tindakan penyuapan, korupsi dan kongkalikon dengan pihak wajib pajak. Bahkan beliau menyarankan diadakan penyelidikan terhadap perilaku para pemungut pajak.

Konsep ekonomi Abu Yusuf lainnya adalah tentang mekanisme pasar. Ia bependapat bahwa naik turunnya harga suatu barang tidak selamanya ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Ada kalanya makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan adakalanya makanan sangat terbatas tetapi murah. Lebih lanjut beliau mengatakan, (Ghazanfar, 2003)

“Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan kehendak Allah.”

Untuk menjamin terciptanya harga pasar yang adil maka penguasa harus membersihkan pasar dari unsur penimbunan, monopoli dan korupsi. Hasilnya, harga yang terbentuk betul-betul murni dari kekuatan permintaan dan penawaran.

Gombak, 30 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar