Selasa, 24 Agustus 2010

IMPLIKASI PENGELOLAAN INVESTASI PADA ASURANSI SYARIAH ANTARA PENGGUNAAN AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH DAN AKAD WAKALAH BIL UJRAH

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Al-Aqila merupakan suatu denda yang sudah dikenal dari zaman Rasulullah, menurut Dictionary of Islam yang di tulis Thomas patrick, jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota suku lain, sebagai kompensasi, keluarga terdekat si pembunuh akan membayarkan sejumlah uang darah/diyat kepada pewaris korban.
Pada prinsipnya dunia Islam tidak mengenal asuransi seperti apa yang diterapkan oleh perusahaan konvensional dibarat, karena prinsip yang diterapkan adalah profit oriented dan transfer risk. Lain halnya dengan asuransi syariah, yang menerapkan prinsip ta’awun dan sharing risk.
Dalam operasionalnya perusahaan asuransi syariah mengemban amanah dari dana para nasabah yang disebut dengan istilah premi (Tabarru’) yang dimanfaatkan bagi para nasabah yang mendapatkan musibah dan merupakan salah satu kewajiban umat muslim terhadap yang lainnya untuk saling menolong dan meringankan. Sebagaimana Islam melarang idle money maka perusahaan sebagai pengelola dana tabarru’ dalam asuransi syariah dikenal dengan nama mudharib, yaitu pihak yang diamanahkan oleh peserta (shahibul mal) untuk melakukan investasi pada kegiatan bisnis yang halal dan menguntungkan. Dalam melakukan berbagai kegiatan bisnis, mudharib selain harus taat terhadap peraturan yang dibuat oleh negara, juga harus patuh dan tunduk pada peraturan yang di buat Dewan Syariah Nasional dengan tujuan menghasilkan nisbah/keuntungan bersih dari unsur-unsur pelanggaran syar’i.
Perusahaan Asuransi syariah menginvestasikan dana peserta juga harus pada sektor yang bernilai Islam adapun akad yang digunakan dalam investasi, Dewan Syariah Nasional menetapkan fatwa No: 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah
Dengan landasan firman Allah Swt:
” .....Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan amat sedikitlah mereka ini.....” (QS.Shad:24)
dan menetapkan fatwa No: 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah. Dengan landasan firman Allah Swt:
” Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa’:58).
Melihat modal perusahaan asuransi syariah yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan modal perbankan, begitu juga risiko yang dihadapi asuransi lebih besar dibanding risiko perbankan maka akan timbul masalah bagaimana pengaruh implikasi pengelolaan investasi antara dua akad (mudharabah musytarakah dan wakalah bil ujrah) terhadap cashflow dan kinerja perusahaan?
I.2. Rumusan Masalah
• Bagaimana pengaruh implikasi pengelolaan investasi antara dua akad (mudharabah musytarakah dan wakalah bil ujrah) terhadap cashflow dan kinerja perusahaan?
I.3. Tujuan Penelitian
• Mengetahui pengaruh implikasi antara dua akad (mudharabah musytarakah dan wakalah bil ujrah) terhadap cashflow dan kinerja perusahaan.
I.4. Manfaat Penelitian
• Bagi penulis yaitu menambah pengetahuan tentang asuransi syariah yang telah dipelajari dari teori menuju aplikasi pada asuransi syariah
• Sebagai acuan bagi perusahaan dalam menetapkan akad untuk melakukan investasi
I.5. Sistematika Penulisan
 Bab I, pada bab ini berisikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
 Bab II, pada bab ini berisikan tinjauan pustaka yang terdiri dari pembahasan pokok tentang Asuransi Syariah, investasi syariah, akad mudharabah musytarakah, akad wakalah bil ujrah.
 Bab III, pada bab ini berisikan metodelogi penelitian yang terdiri dari wawancara( data primer) dan data sekunder.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Asuransi Syariah
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) tentang pedoman umum asuransi syariah, asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

2. Investasi syariah
Kegiatan pembiayaan dan investasi keuangan menurut syariah pada prinsipnya adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pemilik Harta (investor) terhadap Pemilik Usaha (Emiten) untuk memberdayakan Pemilik Usaha dalam melakukan kegiatan usahanya dimana pemilik harta (investor) berharap untuk memperoleh manfaat tertentu. Karena itu, kegiatan pembiayaan dan investasi keuangan pada dasarnya sama dengan kegiatan usaha lainnya, yaitu memelihara prinsip kehalalan dan keadilan.
Landasan Syar’I Investasi:
“ Hai orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…” (an-Nisa’:29).


3. Akad mudharabah musytarakah
Akad Mudharabah Musytarakah yaitu salah satu bentuk akad Mudharabah di mana pengelola (mudharib)turut menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi, diperlukan karena mengandung unsure kemudahan dalam pengelolaannya serta dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi para pihak.
Firman Allah:
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya; hendaklah dengan adil sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(an-Nisa’:58).

Beberapa rukun Mudharabah yang harus dipenuhi menurut Syafi’I Antonio, rukun mudharabah yang harus di penuhi agar dapat lebih sempurna adalah
• Pemodal (Shahibul mal)
• Pengelola (Mudharib)
• Modal (mal)
• Nisbah Keuntungan
• Sight (aqd)

Beberapa manfaat dan keunggulan konsep mudharabah jika diterpkan di lembaga perbankan dan asuransi, yaitu:
• Lembaga/perusahaan asuransi atau bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
• Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank. Dengan demikian bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
• Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cashflow atau arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
• Lembaga/perusahaan asuransi atau bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadilah yang akan dibagikan.
• Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musyarakah berbeda dengan prinsip bunga.
Nisbah/keuntungan Mudharabah
Nisbah dalam asuransi syariah merupakan jumlah yang didapat sebagai kelebihan modal, dengan ketentuan berikut:
• Pembagian keuntungan tidak boleh ditetapkan dengan jumlah yang tetap, namun boleh menetapkan berapapun jumlah keuntungan berdasarkan system bagi hasil yang telah disepakati sebelumnya.
• Keuntungan akan dibagikan diantara para mitra usaha dengan bagian yang telah ditentukan sebelumnya oleh mereka. Pembagian keuntungan bagi setiap mitra usaha harus ditentukan sebelumnya sesuai bagian tertentu atau persentase. Tidak ada jaminan untuk selalu untung.
• Pihak-pihak yang berhak atas pembagian keuntungan usaha boleh meminta bagian mereka hanya jika para penanam modal awal telah memperoleh kembali investasi mereka, juga apabila mereka adalah pemilik modal yang sebenarnya, atau mendapat transfer yang sah sebagai hadiah mereka.

Implementasi al-Mudharabah pada Asuransi Umum (General Insurance)
Pada asuransi umum (kerugian) dengan prinsip-prinsip syariah, implementasi system mudharabah dapat kita lihat misalnya pada operasional PT.Asuransi Takaful Umum sebagai berikut.
1. Akad Mudharabah
 Dengan akad mudharabah berarti surplus underwriting dari hasil operasi perusahaan di bagi di antara operator dengan peserta atau partisipan
 Dasar perhitungan mudharabah dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang surplus underwriting yang diperoleh.
2. Ketentuan Mudharabah
 Perhitungan mudharabah harus didasarkan kepada kinerja yang sebenarnya dari Takaful Fund (perusahaan asuransi tersebut)
 Pembayaran mudharabah tidak di-offset langsung dengan premi renewel kecuali atas permintaan peserta.
 Mudharabah tidak dapat dibayarkan di muka.
3. Persyaratan Pembayaran Mudharabah
 Polis telah jatuh tempo
 Premi (takaful kontribusi) telah dibayar penuh
 Tidak ada pembayaran klaim selama periode covered.
4. Formula perhitungan Mudharabah
 Periode Takaful
 Takaful kontribusi
 Tanggal pembayaran
 Rate mudharabah
5. Tata Cara perhitungan mudharabah
 Besarnya mudharabah yang dihitung diperoleh dengan cara rata-rata tertimbang dari surplus underwriting.
 Rasio mudharabah diperoleh dengan membegi rata-rata tertimbang mudharabah yang akan dibagikan dengan premi bruto rata-rata dan dibulatkan keatas.
6. Tata cara pembayaran mudharabah
 Cadangan mudharabah dibagikan kepada peserta yang selesai pertanggungannya dengan menggunakan rate atas premi yang di setor peserta.
 Peserta yang menerima mudharabah adalah peserta yang tidak mendapatkan manfaat klaim.
 Peserta yang melakukan keterlambatan pelunasan diberikan mudharabah secara proporsional.
 Peserta yang telah jatuh tempo polisnya dikirimi surat konfirmasi untuk menentukan pembayaran mudharabahnya.
 Pengirim surat konfirmasi mudharabah bersamaan dengan pengirim surat konfirmasi perpanjangan yang dilakukan customer care.
 Konfirmasi mudharabah dari nasabah segera diserahkan ke divisi keuangan untuk segera dibayarkan.
7. Sistem pembayaran mudharabah
 Transfer melalui bank
 Cek atas nama tertanggung
 Cash
 Transfer ke rekening koperasi peserta.
 Disumbangkan ke lembaga Zakat.

4. Akad wakalah bil ujrah
Akad wakalah bil ujrah adalah salah satu bentuk akad wakalah dimana peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dengan imbalan ujrah (fee).

4.I. Definisi Wakalah
Al Wakalah atau Al wikalah bermakna at-tafwidh yaitu penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat. Yaitu pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan (Sabiq,1987:57).


Landasan Hukum Wakalah
''Bahwasanya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi' dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah RA.''
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan permusuhan”.

Syarat Sah Wakalah
Di dalam wakalah tidak disyaratkan adanya lafadz tertentu akan tetapi ia sudah sah dengan apa saja yang dapat menunjukkan hal itu baik berupa ucapan maupun perbuatan (Sabiq,1987:58).
obyek dan tujuan wakalah harus dinyatakan secara jelas kepada wakil dan tujuan wakalah tersebut tidak termasuk perbuatan yang dilarang syara’(Mas’adi, 2002:85).

Ujrah Dalam Wakalah
Seseorang yang dibebankan atasnya atas sebuah wakalah berhak untuk meminta upah. Dalam hal ini berlaku akad ijarah (sewa) dimana wakil sebagai ’ajir sedang muwakkil sebagai musta’jir.
Mas’adi (2002:85) menambahkan jika upah dalam wakalah tidak dinyatakan secara jelas maka berlakulah ketentuan adat (urf) seperti kebiasaan memberikan komisi 2.5% dari harga jual untuk pialang atau Makelar.

4.2. Berakhirnya Akad Wakalah
1. matinya salah seorang yang berakad atau menjadi gila.
2. Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud.
3. Pemutusan oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil sekalipun ia belum tahu.
4. Wakil memutuskan sendiri.
5. Keluarnya orang yang mewakilkan dari status pemilikan.

4.3. Ijarah
Definisi
Al ijarah berasal dari kata Al-Ajru yang berarti Al’iwadhu (ganti). Dari sebab itu At-stsawab (pahala) dinamai Ajru (upah).

Landasan Hukum Ijarah
”dan jika ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (Al-baqarah 233)


Landasan Sunnah
Riwayat Ibnu majah, Rasulullah bersabda: “berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”.

Landasan Ijma’
Semua ulama bersepakat membolehkan ijarah, sekalipun ada beberapa orang di antara mereka yang berbeda pendapat akan tetapi hal ini tidak dianggap.

Rukun Ijarah
Ijarah menjadi sah dengan ijab qabul lafaz sewa yang berhubungan dengannya serta lafaz (ungkapan) apa saja yang dapat menunjukan hal tersebut

Persyaratan Orang Yang Berakad
Disyaratkan kedua belah pihak yang melakukan akad berakal dan dapat membedakan. Madzab imam Syafi’i dan Hambali menambahkan satu syarat lagi yaitu baligh, menurut mereka anak kecil sekalipun sudah dapat membedakan namun belum baligh maka akadnya dinyatakan tidak sah.

Syarat Sah Ijarah
(1) Kerelaan kedua belah pihak. (2) Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang di akadkan. (3) Dapat dimanfaatkan menurut syara’. (4) Dapat diserahterimakan sesuatu yang disewakan berikut kegunaannya. (5) Manfaatnya mubah.

Syarat ijarah lainnya seperti dikemukakan oleh El Jaziri (1991:87-88) adalah (1) Diketahui kegunaanya. (2) Manfaatnya disyariatkan. (3) Diketahui upah sewa kerjanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad sahid, ”Rasulullah SAW melarang menyewa orang sehingga jelas upah baginya”.


4.4. Ujrah
Definisi
• Ujrah dalam kamus istilah fikih adalah upah, ganti rugi atas jasa atau jerih payah (Mujieb et al, 1995).

Syarat-Syarat Bayaran Ujrah
Terdiri dari harta yang bernilai dan diketahui. (Zuhaili, 1995:753). Rasulullah bersabda: ”barang siapa yang mengupah hendaklah diberi tau kepadanya tentang upahnya”.
Seseorang yang dibebankan atasnya atas sebuah wakalah berhak untuk meminta upah. Dalam hal ini berlaku akad ijarah (sewa) dimana wakil sebagai ’ajir sedang muwakkil sebagai musta’jir.
Mas’adi (2002:85), ”jika upah dalam wakalah tidak dinyatakan secara jelas maka berlakulah ketentuan adat (urf) seperti kebiasaan memberikan komisi 2.5% dari harga jual untuk pialang atau Makelar”.
Kapan Ajir Berhak Menerima Upah
Menurut Sabiq (1987: 21) Ajir berhak menerima Upah:
(1) Pada saat selesai bekerja. (2) Mengalirnya manfaat. (3) Memungkinkan mengalirnya manfaatnya pada masa yang berlangsung sekalipun tidak terpenuhi keseluruhannya. (4) Mempercepat dalam bentuk pelayanan atau kesepakatan kedua belah pihak sesuai syarat yaitu dengan mempercepat bayaran. (5) Jika ada pembatalan dari pihak penyewa di tengah-tengah kontrak, ajir tetap dibayar penuh sepanjang ajir melakukan pekerjaanya dengan baik, (6) Jika dibatalkan karena ajir kinerjanya jelek maka ia tetap dibayar sampai masa ia diberhentikan dari pekerjaan.

Ajir Musytarak
’Ajir Musytarak (orang sewaan bersama) dimana seorang ’Ajir bekerja untuk lebih dari satu orang. Bagi orang yang memberikan upah, tidak berhak mencegah ’ajir musytarak bekerja untuk orang lain.

1 komentar:

  1. wah... bagus banget ne.. boleh minta yang lengkapnya gak mbak?? aku cici.. kebetulan ambil kuliah jurusan ekonomi islam. klo blh mnt yang lengkap donk.. tolong kirim ke email putri.chi2@gmail.com
    makasi yah...

    BalasHapus